Kamis, 28 Agustus 2008



MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
KEPADA SEJAWAT POGI YANG MERAYAKANNYA


SEMOGA KEBAIKAN DATANG DARI SEGALA PENJURU
I NYOMAN RUDI SUSANTHA

2 komentar:

Hubungi mengatakan...

Rud, bravo.

Selamat hari raya. Saya terinspirasi dengan tulisan yang Rudi kutip. Inspirasinya adalah: kita selalu menyebut sesuatu yang lebih baik dengan lebih besar. Misal Galungan diyakini sebagai hari besar dan penting maka diberilah kata Hari Raya atau Hari Besar.Contoh lain Professor dengan sebutan Guru Besar. Dan orang selalu menulis Tuhan dengan T bukan t (huruf kecil). Padahal kemahakuasaan Tuhan tak bertepi unlimited. Dari maha kecil sampai MAHA BESAR. Kita lebih suka mem-BESAR-BESARKAN dari pada mengecil-kecilkan. Saya ingin melengkapi hidup dengan mengecilkan nama tuhan. Dan tuhan tidak akan marah atau murka. Karena dengan mengecilkan nama tuhan kita mengakui tuhan tak terbatas dan tak terpikirkan. Dan akan lebih mudah memasukkan dan menyimpan tuhan ke dalam hati.Dibanding memasukkan TUHAN YANG MAHA BESAR.

Selamat hari kecil kuningan.
Salam dari hati yang kecil.

hariyasa sanjaya

nyoman rudi mengatakan...

SAYA SEMAKIN YAKIN FILOSOFIS BLI HYS LUAR BIASA. SELAMAT BLI.
TIANG KUTIP LAGI ARTIKEL TENTANG :agama RAGA,RASIO,RASA.
Memang benar kata orang bijaksana bahwa melalui tuntunan agama, kehidupan ini bisa di arahkan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian. Dengan catatan, jika setiap umat yang mengaku beragama secara sadar dapat mengetahui, menghayati dan kemudian mengamalkan nilai-nilai luhur dari ajaran agama itu. Kata kuncinya adalah “pengamalan” bukan sekedar kata-kata dalam pernyataan. Agama bukanlah semacam ilmu pengetahuan biasa yang cukup hanya di ketahui dengan hafalan. Agama juga bukan sejenis mode yang hanya untuk diperagakan. Singkatnya, agama tidak menekankan penampakan fisik (raga) dan pengetahuan (rasio) semata, tetapi lebih menuntut kearah tumbuh kembangnya emosi (rasa) agama yang penuh penghayatan sehingga pengamalannya pun selaras (sinkron) dengan petunjuk agama.

Kenyataan sekarang di antara factor “Tiga Ra” umat beragama cenderung lebih mengedepankan unsure “Raga” (penampilan/peragaan fisik material), “Rasio” (pengetahuan/teori/hafalan) dari pada “Rasa” agama. Maka jangan heran apalagi keburu berbangga diri kalau hanya melihat : kemegahan bangunan pura, “kegairahan umat pedek tangkil”, kemeriahan/kemegahan upakara banten atau kesemarakan upacara yajna. Semua itu boleh jadi baru sebatas “Raga” (fisik-material).

Begitu juga jangan terkagum dulu dengan munculnya orang-orang yang begitu pandai berbicara agama, ratusan sloka kitab suci mudah diucapkan, sering diundang berceramah dan selalu hadir disetiap kegiatan diskusi agama. Mungkin saja penampilan tokoh ahli agama ini baru sebatas “Rasio” (teori/hafalan). Kendati tidak bermaksud meragukan kemampuan mereka yang sementara ini lebih menekankan “Raga” dan “Rasio” tetapi paling tidak dapat dikatakan bahwa “Rasa” agama kita masih belum teralisasi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sepertinya antara penampakan perilaku beragama (raga), dan pernyataan melalui pengetahuan agama (rasio) tidak sinkron dengan “Rasa” agama yang dituntut ajaran agama. Contoh kecil, ketika seorang umat melakukan persembahyangan di sebuah pura dengan penampilan busana dan tata rias serta “haturan” bernilai mahal ditambah berlatar belakang pelajar/intelektual, tetapi begitu tahu dompetnya hilang di areal pura langsung misuh dan memedih. Atau pada saat seorang yang dianggap ahli/pakar agama diundang menyampaikan dharmawacana, begitu tidak tahu ada honor atau honornya tidak sesuai harapan kontan protes.

Ini baru contoh kecil. Ketika ada contoh besar seperti kejahatan kian merajalela, korupsi bertambah hebat, kemorosotan moral semakin ngetrend, dan dilakukan oleh orang beragama, maka bukan salahnya ajaran agama tetapi kekeliruan kita yang lebih senang menonjolkan “Raga” dan “Rasio” sehingga ibarat makanan sama sekali tidak ada “rasa”, hambar atau campah.