Kamis, 28 Agustus 2008

RENUNGAN MEMAKNAI HARI GALUNGAN DAN KUNINGAN

dalam rangka galungan dan kuningan edisi bulan ini saya kutipkan artikel hindu: jumlah kuda dan arti sugihan bali, makna galungan dan kuningan, artikel pak gede prama dan 5 macam yadnya dalam hindu
I Nyoman Rudi Susantha
selamat membaca semoga ada hikmahnya
Jumlah Kuda dan Arti Sugihan Bali
Sebagaimana disuratkan di dalam kitab suci Bhagawadgita, I.14 cukup jelas dinyatakan bahwa: “Kemudian setelah berdiri di atas kereta megah yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, Krishna dan Arjuna meniup terompet dewata meraka”.Mengacu pada bunyi sloka ini sudah pasti jumlah kuda yang menarik kereta yang dinaiki oleh Arjuna dengan sais utama Sri Kreshna berjumlah dua ekor kuda putih. Tetapi dalam media lain di luar transkripsi Bhagawadgita seperti dalam gambar-gambar atau lukisan lepas terutama yang bersumber dari tanah India umumnya kereta yang ditumpangi Arjuna menjelang pecahnya perang keluarga Bharata digambarkan ditarik oleh empat ekor kuda putih.Berpijak pada pemahaman filosofis tentang jumlah kuda tidaklah begitu penting. Yang paling penting justru keberadaan kuda itu sendiri dengan tidak perlu lagi menyebutkan jumlahnya. Penggunaan kereta lengkap mulai dari kusir sampai kudanya mengandung makna filosofis yang teramat dalam. Perinciannya: kereta adalah lambang manusia, pemilik adalah lambang atma, kusir adalah lambang budhi (kebijaksanaan), tali kekang lambang pikiran dan kuda lambang indria.Pendeknya, kereta lengkap itu menggambarkan hakikat manusia itu sendiri. Soal kereta itu mau dibawa kemana, dengan cara apa, atau kapan kuda itu hendak dilarikan dengan kencang atau pelan kesemuanya terpulang pada sang pemilik yang dengan kelengkapan badan, pikiran dan budhi bisa mengarahkan kereta menuju tujuan sejati. Jadi soal jumlah kuda dalam pengertian filosofis mungkin tidak begitu penting. Sebab berapa pun jumlahnya, tetapi faktor kuda sebagai lambang indria yang perlu dikendalikan itu yang agaknya lebih penting. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan kebebasan seniman dalam menggambarkan/melukiskan atau memahatkan maka bisa saja jumlah kuda menjadi sangat bervariasi.Lalu soal Sugihan Jawa dan Sugihan Bali seperti pernah diungkap, maknanya adalah sebagai penyucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit atau alam semesta dan diri kita masing-masing dalam rangka menyongsong hari suci Galungan sehingga dharma benar-benar dapat ditegakkan di atas adharma. Terakhir mengenai tujuan penggunaan “lis” tidak lain sebagai sarana/upakara pembersihan atau penyucian sehingga segala noda atau mala sirna adanya.
GALUNGAN DAN KUNINGAN
Mungkin karena agama Hindu memberi kebebasan umatnya untuk menafsirkan ajaran-ajaran-Nya yang penuh dengan rahasia sekaligus kaya dengan istilah-istilah berkulit, maka sering kali membuat tafsiran yang tidak jarang keliru. Meski ada pula yang terkadang cocok walau belum tentu benar. Dari segi makna Galungan dan Kuningan, bahwa rerainan gumi itu bertujuan untuk memperoleh galang (terang) dan ning (keheningan) adalah cocok. Hanya jika dikatakan istilah Galungan dan Kuningan berasal dari kata “galang” dang “ning” tidaklah benar. Dalam konteks bahasa Bali, penafsiran demikian sering disebut “arti aud-audan” cocok meski tidak tepat.Sebenarnya kata Galungan itu merupakan istilah tersendiri yang berarti “berperang”. Sedangkan Kuningan, di ambil dari nama wuku. Kalau filosofi Galungan sudah jelas bahwa hari Piodalan Jagat itu merupakan hari kemenangan dharma setelah berperang melawan adharma selama hayat masih dikandung badan. Sedangkan secara ritual, sudah dimulai sejak tiga hari berturut-turut sebelum Galungan. Mulai Redite Pahing Dungulan, Soma Pon Dungulan sampai Anggara Wage Dungulan mulai turun menyerang (menggoda) Sang Kala Tiga : Sang Butha Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.Puncak peperangan sekaligus merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma dalam wujud Sanga Kala Tiga itu adalah pada hari Buda Kliwon Wuku Dungulan. Pada hari itu segenap umat Hindu mengahaturkan “mahasuksmaning idep” atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widhi yang telah memberikan bimbingan atau tuntunan guna mencapai kemenangan dharma. Sebuah kemenangan yang sesungguhnya tidak bersifat fisik, melainkan lebih mengarah pada rohani, mental, moral dan spiritual. Dari kehidupan “gelap”nya selama ini kita jalani, dengan penghayatan tinggi terhadap Galungan untuk seterusnya mengikuti jalan lurus dan terang, berdasarkan ajaran dharma. Di dalam lontar Sundarigama disebutkan “Bu, Ka, Galungan, nga, patitis ikangajnana sandi, galang apadang, marya kena sarwa byaparaning idep”. Artinya : Buda Kliwon Galungan adalah yang mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran.
addthis_pub = 'citakbagus';

ARTIKEL PAK GEDE PRAMA dalam:
Keberuntungan yang Paling Menguntungkan
kalau keberuntungan tidak lagi berlawankan kerugian, keberuntungan bias diraih dengan mudah hanya dengan mengatakan, ya, pada kehidupan. Bukankah ini bentuk keberuntungan abadi yang paling menguntungkan “Mengelola keberuntungan, itulah sebagian gambar-gambar kehidupan yang banyak dilukis dalam kekinian. Larisnya buku, majalah, acara televisi sekaligus radio yang membahas feng shui, tidak kecilnya honor konsultan feng shui, dan bahkan ada yang mengatakan kalau sebagian di antara mereka yang memiliki daftar panjang antrean klien, merebaknya demikian banyak sekolah bisnis dari Amerika, Eropa sampai dengan Asia yang berujung pada satu hal: membuat perusahan beruntung. Di Prancis (sebuah Negara di mana sejumblah pengetahuan berbasiskan rasionalitas dari dulu banyak lahir) bahkan pernah ditemukan data yang mengjutkan: peramal keberuntungan di pinggir jalan termasuk dalam kelompok penyetor pajak yang menentukan.Digabung menjadi satu, keberuntungan adalah salah satu cabang kehidupan yang menguras tidak sedikit energi hidup. Ini sama dengan cerita Nasruddin yang juga termasuk salah seorang dari kelompok pemulung keberuntungan. Di suatu waktu, Nasruddin berjalan-jalan bersama istrinya. Sebagaimana biasa, begitu melihat wanita cantik, ia pun melirik. Sadar akan hal ini, istri Nasruddin protes, “itulah kerugian laki-laki, selalu merasa wanita lain lebih cantik dan istrinya.” Merasa dirinya terpojok, Nasruddin tidak mau kalah , “malah terbalik, di situlah latak keberuntungan laki-laki. Selalu sadar akan perlunya mengagumi keindahan. Bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan?”Entahlah, yang jelas demikianlah manusia di zaman ini dipermainkan oleh pikirannya. Cirinya sederhana, selalu mencari-cari alasan agar keinginan, hawa nafsu, dan perbuatan memperoleh kebenaran. Dan lebih hebat lagi, tatkala alasan-alasan ini ketemu, ada yang meng-claim diri obyektif, alias bebas dari kepentingan serta vasted interest, hasilnya mudah di tebak: keberuntungan bersifat datang dan pergi. Apa pun (termasuk keberuntungan) hasil produksi pikiran senantiasa bersifat datang dan pergi. Kebahagiaan di usir kesedihan, kesedihan lalu di usir kebahagiaan. Keberuntunagn digantikan kesialan, kesialan lalu diganti keberuntungan. Kekayaan ditakut-takuti kemiskinan, dan kemiskinan pun bisa diusir kekayaan.Ia semacam perlombaan hidup yang tidak mengenal kata henti. Berganti, berganti dan terus berganti. Tidak sedikit yang sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kemudian dikunjungi stress dan sakit-sakitan. Seorang sahabat bahkan ada yang berbisik , “dimana-mana occupancy rate (tingkat hunian) rumah sakit gila melebihi seratus persen.” Sadar akan resiko hidup yang berkejaran seperti ini, bisa memaklumi kalau ada pencinta kejernihan yang menentukan mantra sederhana: “ini pun akan berlalu.” Apa dan siapa saja yang datang, selalu disambut dengan mulut yang bergumam dengan matra ini pun akan berlalu.Indahnya, siapa saja yang rajin bergumam dalam tentang mantra ini pun akan berlalu, mudah sekali memasuki wilayah-wilayah bushido. Seperti bunga di taman. Ia tumbuh, mekar, layu, gugur ke atas tanah dan tumbuh lagi. Dalam cahaya-cahaya bushido seperti ini, tentu mudah dipahami kalau Steve Nobel dalam Freeing the Spirit pernah mengutip sebagian Tao Te Ching: “When opposites no longer damage one another, both are benefited through the attainment of Tao”. Tatkala semua dualitas (benar-salah, baik-buruk, sukses-gagal) berhenti tarik-menarik, keduanya bermanfaat dalam mencapai kebenaran.Entah ada sahabat yang menelusuri jalan-jalan bushido seperti ini atau tidak. Yang jelas, banyak pejalan kaki di jalan-jalan ini sering bertutur kalau kemanapun mata menoleh yang tersisa hanya satu: keindahan. Bukan karena sedang berlibur ke Bali atau ke Swiss. Bukan juga karena baru saja memenangkan lotere miliaran rupiah. Bukan juga karena baru mendapatkan pacar baru. Melainkan sudah berpelukan rapi dengan hidup dan kehidupan. Tidak ada penolakan atau pemaksaan disana. Tidak ada dorongan-dorongan disana. Yang tersisa hanya satu: seni berkata, “ya” pada kehidupan. Ini mirip dengan apa yang ditulis Pema Chodron dalam The Wisdom of No Escape: “Hell is just resintance to life.” Neraka hanya muncul ketika terjadi penolakan terhadap kehidupan. Diluar penolakan pada hidup, neraka menghilang entah kemana.Bedanya dengan pengertian banyak orang yang mempertentangkan neraka dengan surga, dalam seni hidup yang hanya mengenal kata, ya, tidak ada lagi hal yang layak dipertentangkan atau diperlawankan. Yang ada hanya mulut yang bergumam dalam, “ini pun akan berlalu!” ada yang menyebut hidup seperti ini dengan pasrah tidak bergairah. Ada juga yang menyebutnya sebagai awal bersinarnya cahaya-cahaya kesucian di sana sini. Entahlah, yang jelas ada yang bertanya, “kalau keberuntungan tidak lagi berlawankan kerugian, keberuntungan bisa diraih dengan mudah hanya dengan mengatakan, “ya” pada kehidupan. Bukankah ini bentuk keberuntungan abadi yang paling menguntungkan?”Tentu saja kembali siapa anda. Bila anda seorang accountant yang lagi bersemangat mencari uang, tentu jawabannya lebih dekat ke negative. Bila anda adalah seorang pencari kedamaian, bisa jadi pisitif jawabannya. Kalau anda seorang spiritual traveller yang sudah berjalan jauh, anda tidak memerlukan baik jawaban maupun pertanyaan. Bahkan judul hening pun tidak perlu lagi.
addthis_pub = 'citakbagus';

Tidak ada komentar: